Jumat, 27 April 2012

Jadikan Hidup Lebih Bermakna


Jadikan Hidup Lebih Bermakna
oleh: Harris Hariadi

Untuk apa saya hidup? Barangkali itu adalah pertanyaan yang paling mendasar bagi setiap manusia, yang mau berpikir lebih dalam tentang dirinya sendiri. Apa yang ada di dalam benak manusia yang menjalani hidup ini dengan sekadarnya, mungkin tidaklah lebih baik daripada apa yang juga dipikirkan oleh makhluk yang bernama hewan.
Pertama-tama dilahirkan ke dunia, kemudian diasuh oleh orang tua, lalu berangsur-angsur menjadi dewasa, setelah itu belajar untuk mencari nafkah, kemudian menjadi dewasa dan mencari penghidupan sendiri, lalu mencari pasangan untuk meneruskan keturunan, mendidiknya, serta menjadikannya seperti apa yang pernah dijalaninya selama hidupnya di dunia, dan yang terakhir adalah mati...
Pragmatis memang, tapi itulah yang ada dalam benak sebagian besar manusia di bumi ini. Terlebih lagi dengan pola kehidupan materialistis yang diterapkan di dunia pada saat ini. Pola pikir manusia kebanyakan hanya bertumpu pada materi, materi, dan materi. Untuk hal-hal yang nonmateri seperti misalnya moral, sifat, akhlak, kebaikan, kejujuran dan lain-lain hanyalah didasarkan pada anggapan bahwa hal-hal tersebut dapat mendukung usaha manusia dalam mencari nafkah, ujung-ujungnya adalah materi, dan hal-hal yang berbau keduniaan lainnya.
Demikianlah, hal yang paling mendasar tersebut memang sudah seharusnya dipikirkan oleh manusia. Tanpa pemecahan terhadap masalah tersebut hanya akan membuat hidup manusia tidak memiliki jiwa, ruh.
Islam datang memecahkan persoalan tersebut. Islam mengajarkan bagaimana manusia seharusnya menjalani hidup ini sesuai dengan tuntunan penciptanya, Allah SWT. Islam juga memberikan berbagai solusi dalam seluruh aspek kehidupan. Islam juga menjadikan pemeluknya memiliki ruh dan semangat yang khas sehingga menjadikan manusia sebagai manusia, bukan hewan. 'Hidup untuk beribadah'. Itulah yang menjadi kunci dalam kehidupan yang Islami. Kalimat itu juga yang mendorong pemeluk Islam untuk menjadikannya tersebar hingga ke seluruh penjuru dunia.

MENJADIKAN HIDUP MEMPUNYAI MAKNA
Hidup dapat dirasakan, tapi sulit untuk didefinisikan. Semua orang, anak kecil sekalipun, sangat mudah mengatakan apakah sesuatu itu hidup atau mati. Ketika seseorang berjalan di kebun, dengan mudah ia membedakan mana pohon yang hidup, dan mana yang mati. Pepohonan yang nampak dari hari ke hari bertambah tinggi, berdaun hijau, lantas berbuah pasti dikatakan bahwa pohon itu hidup. Sebaliknya, pohon yang kering kerontang, daun-daunnya sudah rontok, walaupun disirami dan dipupuk tetap tidak membesar, bahkan semakin lama keropos, sekalipun tetap terlihat berdiri tegak namun orang-orang mengatakan bahwa pohon itu tidak hidup lagi. Demikianlah dengan hewan dan manusia. Hewan dan manusia yang terlihat tumbuh, anggota tubuhnya berfungsi, bergerak, dan dapat berkembang biak, semua orang dengan mudah menyimpulkan bahwa hewan dan tumbuhan yang demikian itu hidup, bukan mati. Inilah hidup secara biologis.
Dalam jenis hidup seperti ini, tumbuhan, hewan, dan manusia adalah sama. Sama-sama hidup. Semuanya sama-sama mencari makan bila lapar, mencari air bila haus, istirahat bila lelah, serta melakukan hubungan seksual untuk melestarikan keturunan bila telah tiba saatnya. Demikianlah dalam aktivitas biologis manusia tidak jauh berbeda dengan tumbuhan dan hewan.
.Di sisi lain kita mendengar istilah kota mati. Pada saat terjadi kerusuhan, mobil-mobil tidak ada, kantor-kantor, pabrik, dan toko-toko banyak yang tutup. Saat itulah orang menyebutnya sebagai kota mati. Kota yang dibom sehingga penduduk dan bangunan-bangunannya porak poranda juga dinamai kota mati. Sebab, interaksi antarmanusia yang menjadi tanda kehidupan sudah tidak ada lagi.Inilah hidup dalam arti sosiologis.
Dalam hidup ini, manusia dan hewan sama. Sama-sama makan , minum, bergerak, berkembang biak, menyayangi anak, dan berinteraksi satu sama lain. Bedanya, hewan melakukan semua itu dengan sekehendak hatinya sedangkan manusia ada yang melakukan dengan sekehendaknya, dan ada pula yang diatur oleh penciptanya, Allah SWT. Bila manusia ini dalam menjalani hidupnya ini hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semata, berarti tidak ada bedanya orang tersebut dengan hewan.
Demikan pula, bilamana seseorang menjalani hidup ini seenak perutnya, bebas tanpa aturan, memperturutkan logika dan hawa nafsunya, serta melupakan Allah, saat itu orang tadi tidak dapat dibedakan dengan hewan. Berkaitan dengan ini, Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS Al-A'raf 179)
Manusia yang ketika disodorkan ayat-ayat Allah tetapi tidak mau memahami, mengerti, menghayati, dan mengamalkannya, oleh Allah diibaratkan seperti hewan. Allah menegaskan dalam firman-Nya:"Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya." (QS Al-Ahqaf 26)
Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali berupaya menjadikan akal dan hati untuk memahami kebenaran, mata untuk mencari dan melihat kebenaran. Dan kebenaran itu adalah apa-apa yang datang dari Allah SWT. "Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu." (QS Al-Baqarah 147)
Kebenaran itu adalah apa yang terdapat dalam Islam. Allah berfirman: "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS Ali Imran 85)
Dengan kata lain, segenap potensi yang dimilikinya tersebut digunakan untuk memahami dan menghayati Islam untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan ini, Allah menyatakan: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."  (QS AdzDzariyat 56)
Jelas sekali, Allah SWT sebagai pencipta manusia menetapkan bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Padahal, ibadah itu maknanya adalah: taat kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya serta terikat dengan aturan agama yang disyariatkan-Nya. Jadi, manusia itu ada di dunia ini semata-mata untuk tunduk, taat, dan patuh kepada aturan-aturan dan hukum-hukum Allah dalam semua perkara: aqidah, ibadah mahdhah, sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Untuk manusia setelah diutusnya Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, berarti hidupnya untuk tunduk, patuh, dan taat kepada syariat Islam yang diturunkan Allah kepada beliau.
Melalui ibadah seperti inilah manusia akan berbeda denagn hewan bahkan melambung jauh lebih tinggi daripada derajat hewan. Hewan makan, manusia juga makan. Tetapi manusia tidak sembarang makan. Ia makan hanya makanan yang halal lagi baik, memperolehnya dengan jalan yang dihalalkan Allah SWT.. Hewan hidup dengan sesamanya, demikian pula halnya dengan manusia. Bedanya, dalam kehidupan hewan tidak diatur secara formal, yang kuat itulah yang menang dan berkuasa.
Sebaliknya, manusia diatur oleh aturan-aturan Allah. Kedaulatan ada di tangan Syara' sehingga yang menentukan halal-haram, baik-buruk, terpuji-tercela, serta mana boleh ada di tengah masyarakat dan mana yang tidak boleh ada hanyalah ditentukan oleh Allah SWT melalui hukum-hukum-Nya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas.
Kapan tunduk, patuh, dan taat kepada aturan Allah itu? Jawabannya tegas, setiap saat. Nabi SAW pernah mengatakan, seperti yang diriwayatkan oleh Turmudzi, menegaskan: "Bertaqwalah engkau di mana pun engkau berada!" (HR Turmudzi)
Sungguh, sabda Rasulullah tersebut sangat gamblang dipahami. Bagaimana tidak, Allah akan menghisab seluruh perbuatan manusia. Dia bukan hanya sekadar menghisab aktivitas ketika sedang di masjid saja atau sedang mengadakan pengajian saja. Sebaliknya, Dia Dzat maha Mengetahui akan meminta pertanggungjawaban manusia tentang segala perbuatannya. Semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban, apakah sesuai dengan visi dan misi hidup di dunia, yaitu ibadah, ataukah tidak.
Allah berfirman: "Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS At-Thur 21)
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya" (QS Al-Mudatstsir 38)
Demikianlah, bila hidup manusia sesuai dengan tugas yang diberikan Allah SWT kepada manusia maka hidupnya akan bahagia di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, bila tidak, ia akan nestapa di dunia dan di akhirat. Untuk itu, kita patut merenungkan firman Allah berikut:"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS Al-Hadid 16)

KHATIMAH
Demikianlah, Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Tiada perbuatan yang lebih baik daripada menghambakan diri kepada pencipta, beribadah kepada Allah SWT. Konsekuensi dari menghambakan diri ini termasuk dengan melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah dalam segala aspek kehidupan, baik segi aqidah, ibadah mahdhah, sosial, politik, ekonomi, pendidikan, maupun budaya.
Dunia pada saat ini telah terkontaminasi dengan hal-hal yang ghairullah (bukan dari Allah) yaitu yang kita kenal sebagai thaghut. Inilah yang menyebabkan manusia menjadi hidup seperti layaknya hewan, tanpa aturan yang benar. Dan inilah yang membuat manusia berdosa besar karena melalaikan untuk menjalankan Syari'at Allah.
Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk bersama-sama dan saling membantu untuk menegakkan kalimat Allah di bumi ini sehingga aturan-aturan Allah bisa dijalankan oleh manusia dan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam bisa dinikmati oleh seluruh makhluk.

Wallahu A'lam Bi Shawab...

Read more »

SAAT KEJUJURAN DITERTAWAKAN


SAAT KEJUJURAN DITERTAWAKAN
Sebenarnya tulisan ini udah lama ingin gue buat. Cuma karena banyaknya kesibukan sehingga nggak kesampaian terus buat nulisnya. Lagipula saat itu gue dalam keadaan emosi. Gue pikir kurang baik menuangkan suatu pemikiran dalam keadaan emosi.
Kolega Save us, saat gue menulis ini nggak ada kepikiran buat menyombongkan diri dengan berkata gue nih orang jujur, dan elo nggak jujur. Nggak ada! Sejujur-jujurnya gue bilang gue masih jauh dari predikat orang jujur. Kadangkala sebagai manusia gue juga sering khilaf. Tapi yang jelas, gue percaya kalo jujur itu adalah suatu kebenaran. Dan kebenaran musti ditegakkan dan diperjuangkan. Gimanapun, nggak peduli elo dibenci dan dimusuhi, atau bahkan dibunuh. Karena gue percaya mati dalam kebenaran jauh lebih baik daripada hidup aman dalam kemunafikan. Ah, jadi kebanyakan ngelanturnya, jadi malah lupa apa yang pengen ditulis tadi….
Kolega Save us, pernahkah kalian nyontek saat ujian? Gue pernah, dulu, saat gue masih belum begitu paham akan islam. Tapi kini insya Allah nggak lagi. Hey, kenapa pandangan kalian jadi berubah kayak gitu! Kalian nggak percaya, atau kalian nganggap tidak menyontek adalah suatu hal yang aneh? Maka bila kalian berpikir demikian, maka sungguh kalianlah yang aneh.
Trus pernahkah kalian menyontekkan hasil jawaban kalian ke orang lain? Kembali sorotan mata tajam terarah ke gue. Mata sinis itu, dan cemoohan itu. Yep, karena itulah gue jadi bela-belain menuliskan tulisan ini.
Kolega Save us, gue selalu aja menghindar kalo saat ujian ada temen yang nanya atau minta dicontekin. Gue selalu pura-pura cuek, atau cari-cari alasan yang pada intinya menolak memberikan contekan. Agak risih memang dan rasanya emang nggak enak menolak permohonan teman. Hingga akhirnya suatu ketika pada saat ujian, seorang teman mencak-mencak, karena gue nggak mau mencontekin jawaban ujian gue. Saat itu, asli, perasaan gue nggak menentu. Gue tumpahkan kekesalan gue ke teman-teman yang lain. Gue bilang gue tetap pada pendirian gue, gimanapun gue ingin berpegang teguh pada prinsip, bahkan gue bilang gue berani mati demi prinsip tersebut. Nggak nyangka, respons dari teman gue malah ngetawain pendapat gue, padahal gue saat itu betul-betul serius. Asli, hati gue saat itu terluka dan dangan majas hiperbola gue katakan hati gue remuk berkeping-keping. Bukan! Bukan karena guenya yang ditertawakan. Gue sakit hati karena mereka mentertawakan kejujuran! Mentertawakan kebenaran!!
Kolega Save us, Allah memerintahkan kita berbuat jujur. Banyak ayat AlQur’an dan hadits yang menunjukkan demikian. bahkan dalam suatu hadits, Rasululullah mengatakan bahwa salah satu ciri orang munafik adalah berdusta. Nggak hanya itu, Allah juga mengharamkan perbuatan curang. Karena itu musti kita pahami bahwa ketika kita berbuat jujur, semata-mata karena itu adalah perintah Allah, bukan karena adanya standar manfaat dari kejujuran tersebut. Sepakat?!
Selain itu Allah juga memerintahkan kita tolong menolong dalam berbuat kebaikan  dan melarang kita tolong-menolong dalam berbuat keburukan. Firman Allah:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebaikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam keburukan dan dosa” (QS AlMaidah:2) 
Dari ayat di atas jelas, bila itu perbuatan keburukan baik yang menolong maupun yang ditolong memiliki status yang sama, sama-sama berdosa.
Makanya gue berprinsip mencontekkan orang lain sama dosanya dengan mencontek itu sendiri. Bahkan bisa jadi memberi contekan dosanya lebih besar. Karena dengan memberi contekan, kita telah memberi kesempatan orang lain untuk berbuat dosa.
“Ah, berlebihan loe. Contek-mencontek aja dibikin masalah. Gue rasa perbuatan itu wajar-wajar aja. Loe sendiri juga pasti pernah mencontek!!” mungkin ada diantara kalian yang berpikiran kayak gitu.
Kolega, gue rasa penuturan gue nggak berlebihan. Mencontek gue rasa adalah suatu masalah yang nggak bisa dianggap sepele. Ketika guru atau dosen telah memberikan ujian dan mengakadkan tidak boleh mencontek, buka buku dan lainnya, maka apabila kita mencontek maka kita jelas telah berbuat tidak jujur dan telah curang. Beda halnya bila akad awalnya memang diperbolehkan mencontek. Sehingga dalam hal ini haramnya mencontek sama aja status haramnya dengan daging babi, haramnya berzina, atau haramnya membunuh. Karena dalam islam nggak dikenal istilah sedikit haram, agak haram, atau sangat haram. Pokoknya kalau Allah telah melarang sesuatu, nggak ada alasan buat kita memilih-milihnya atau membuat skala prioritasnya. Jadi sekali lagi sama sekali nggak berlebihan!
Trus yang bilang contek mencontek adalah wajar-wajar aja…, maka inilah jawaban gue: Apakah hanya karena banyak orang yang melakukan, dan itu sudah jadi tradisi, maka kita dengan seenaknya menganggap itu sebagai hal yang wajar. Trus seandainya suatu ketika zina menjadi tradisi, maka dengan entengnya kita juga bakal menyebutnya sebagai sesuatu yang wajar. Apakah karena banyak orang yang melakukan maka itu menjadi legitimasi terhadap kebenaran perbuatan tersebut. Nggak sobat, perbuatan yang haram nggak boleh dianggap wajar. Adalah kurang ajar bila kita memberikan predikat wajar pada sesuatu larangan Allah.
Kemudian tentang gue sendiri pasti pernah mencontek…. Bukankah diawal-awal sudah saya tegaskan: iya, gue pernah mencontek. Tapi gue berusaha dengan sekuat tenaga untuk tidak lagi mencontek atau mencontekkan. Lagipula, apa jika gue juga seorang pencontek maka status hukum mencontek akan berubah, atau apakah itu akan jadi legitimasi bagi loe buat mencontek juga. Betapa naifnya elo bila begitu….
“Sebentar… sebentar… perbuatan tidak jujur kan tidak hanya mencontek…. Nah, gue juga pernah ngeliat elo misalnya berdusta, atau berbuat curang….”
Yup, seratus buat loe! nggak cuma masalah contek-mencontek. Tapi gue pengen aja nulis panjang lebar tentang masalah itu. Mengenai gue, di awal-awal gue kan udah bilang (aduuuh! Baca lagi dah mulai awal) kalo gue masih jauh dari predikat sebagai orang jujur. Kadang gue juga khilaf, misalnya berbohong dan lain sebagainya. Cuma gue yakin akan kebenaran, kalo gue tidak jujur Allah benci ama gue, dan gue bakal disiksa ntar di akhirat dan kalo gue jujur Allah bakal ridla ama gue. Jadi sedapat mungkin gue belajar jadi orang jujur. Dan gue rasa nggak salah kalo dalam keadaan yang masih jauh dari kesempurnaan ini, gue mengajak orang lain untuk berbuat jujur. Terus terang gue kurang sependapat dengan pernyataan yang bilang jangan mendakwahi orang kalo elo sendiri belum sempurna. Lihat diri loe dulu dong! Nah, kalo semua orang berpikir kayak gitu maka risalah islam ini hanya sampai di segelintir orang seperti sahabat-sahabat Rasul aja. Soalnya semua orang merasa dirinya tidak sempurna dan tidak pantas untuk berdakwah.
Kalo makai perasaan emang sulit. Terkadang kita berada dalam kondisi kepepet. Kalo nggak mencontek bisa-bisa nilai kita hancur dan nggak lulus. Trus misalnya kalo tidak memberi contekan kita bakal dimusuhi, nggak enak sama teman, dibilang sombong atau mau pinter sendiri, atau macem-macem. Ya..itu tadi, seperti kasus yang gue ceritain di awal, teman gue yang nggak gue contekin mencak-mencak (Padahal sebenarnya kalo dia tahu, gue sendiri saat itu dalam keadaan ‘blank’ hanya sedikit yang bisa gue jawab, sisanya kosong atau kalo terisipun jawabannya asal). Tapi percayalah sobat, semua hal diatas: nilai hancur, nggak lulus, dibilang sombong, dimusuhi… nggak ada artinya bila dibandingkan dengan murka Allah bila kita berbuat sesuatu yang dilarang-Nya. Terlalu tidak berharga apabila kita menjual keyakinan kita hanya untuk seonggok kenikmatan dunia yang sesaat.
Kolega Save us. Gue nggak terlalu berharap loe –dengan selembar kertas lecek potokopian buram ini- bakal berubah. Gue juga nggak peduli apakah sehabis loe baca tulisan ini loe nyumpah-nyumpah, ngetawain gue, merobek kertas ini, atau membuangnya ke tempat sampah, dijadikan coret-coretan, pesawat-pesawatan, atau malah dijadikan kertas kerpean buat ujian. Gue nggak peduli! Gue ikhlas kok. Yang jelas sekarang gue telah punya jawaban bila kelak di akhirat Allah menyidang gue “Ya Allah saksikanlah, hamba-Mu yang hina ini telah menyampaikan”. 
   

Read more »

ngaji yuk...!!!