Jumat, 30 Maret 2012

MABDA’ (IDEOLOGI)

Mabda’ (ideology) dalam bahasa arab, adalah bentuk (sighat) mashdar mim dari kata bada’a yabdu’u bad’an wa mabda’an, yang artinya memulai. Secara terminologis, mabda’ berarti pemikiran yang mendasar yang menjadi pondasi pemikiran-pemikiran lain. Bila ada orang yang berkata, mabda’ku adalah “ kejujuran” maka yang dimaksud dengan ungkapan mabda’ku adalah bahwa kejujuran merupakan prinsip setiap perbuatannya. Begitu pula, jika seseorang mengatakan  bahwa mabda’nya menepati janji, maka yang dimaksud disini adalah bahwa menepati janji merupakan prinsip mu’amalahnya. Demikian seterusnya.
          Hanya saja, banyak orang terbiasa menggunakan istilah mabda’ dalam konteks pemikiran cabang, yang antara lain bisa digunakan untuk membangaun pemikiran pemikiran cabang lain dan menganggabnya sebagai mabda’, karena pemikiran cabang tersebut dianggap sebagai pemikiran yang mendasar. Karena itu, mereka mengnggap kejujuran, perbuatan baik kepada tetangga, tolong menolong, masing-masing sebagai mabda’.
          Dari sini, mereka kemudian menjadikan akhlak, ekonomi, dan sosoiologi sebagai mabda’. Yang merka maksud adalah adanya pemikiran-pemikiran tertentu tentang ekonomi atau pemikiran tertentu tentang undang-undang  yang menjadi dasar dan pokok bangunan yang melahirkan pemikiran-pemikiran lain dibidang perundang-undangan.
          Sebenarnya pemikiran tersebut bukan mabda’, tetapi hanya kaidah atau pemikiran saja. Sebab mabda’ adalah pemikiran mendasar. Sedangkan pemikiran-pemikiran tersebut bukanlah pemikiran mendasar, tetapi hanya merupakan pemikiran cabang, meskipun bisa menghasilkan pemikiran lain, namun tetap tidak secara otomatis menjadikannya sebagai pemikiran mendasar. Pemikiran-pemikiran itu statusnya tetap merupakan pemikiran cabang, walaupun bisa menghasilkan pemikiran-penikiran lain, atau bisa memecahkan pemikiran-pemikiran baru, selama pemikiran-pemikiran tersebut bukan merupakan pemikiran mendasr, tetapi tetap merupakan pemikiran yang terpancar dari pemikiran mendasar.
          Dengan demikian, kejujuran, menepati janji, tolong-menolong atau yang lain merupakan pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar. Sebab, pemikiran-pemikiran ini diperoleh dari pemikiran mendasar, juga karena pemikiran-pemikiran ini bukan merupakan asas. Kejujuran adalah cabang dari asas yang lain. Bagi kaum muslim, kejujuran adalah hokum syara’ yang di ambil dari alquran, sedangkan dalam pandangan orang-orang non muslim, kejujuran merupakan sifat baik yang bisa memberikan manfaat, yang diambil dari pemikiran kapitalisme.
          Karena itu, pemikiran tidak bisa dikategorikan sebagai mabda’(ideologi), kecuali jika pemikiran tersebut merupakan pemikiran mendasar, yang bisa memancarkan pemikiran lain. Pemikiran mendasar adalah pemikiran yang sama sekali tidak didahului oleh pemikiran lain. Pemikiran mendasar ini hanya ada pada pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan. Sebab tidak ada pemikiran lain yang lebih mendasar dari pemikiran ini. Alasannya, karena pemikiran ini merupakan dasar dalam kehidupan.
          Ketika manusia memandang dirinya, dia pasti akan menemukan bahwa manusia pada dasarnya hidup di alam. Selama belum ditemukan pada dirinya pemikiran tentang dirinya, kehidupan dan alam sekitarnya dari aspek ada dan penciptaannya, maka tidak mungkin dia bisa memberikan pemikiran yang bisa menjadi dasar hiupnya. Karenanya, kehidupan orang tersebut akan terus berjalan tanpa asas, labil, tidak jelas dan berubah-ubah, selama pemikiran mendasar ini  belum ada didalam dirinya. Dengan kata lain, selama pemikiran menyeluruh tentang diriya, kehidupn dan alam ini belum ada pada dirinya.
          Dari sini, maka pemikiran menyeluruh tentang alam, manusia, dan kehidupan ini merupakan pemikiran mendasar yaitu akidah. Hanya saja, akidah ini tidak akan bisa menghasilkan pemikiran lain, dan tidak bisa menjadi pondasi bagi pemikiran lain, kecuali jika akidah ini juka merupakan pemikiran atau merupakan hasil kajian rasional. Namun, jika akidah tersebut diterima secara doktriner, maka akidah semacam ini bukan pemikiran dan tidak disebut sebagai pemikiran menyeluruh, sekalipun tetap layak disebut akidah. Karena itu, pemikiran yang menyeluruh ini benar-benar diraih manusia melalui penalaran atau merupakan hasil kajian rasional, sehingga pada saat itu akidah tersebut menjadi akidah rasional. Pada saat itulah, pemikiran lain bisa terpancar dan dibangun dari kaidah ini.
          Pemikiran yang dibangun dan terpancar dari akidah ini adalah problem solving bagi kehidupan, yaitu hokum-hukum yang mengatur masalah kehidupan manusia. Selama akidah rasional ini ada, dan dari akidah ini terpancar berbagai hokum yang bisa menyelesaikan berbagai problem kehidupan manusia, maka mabda’ (ideology) ini didefinisikan sebagai akidah rasional yang bisa memancarkan system.
          Dari sini, bisa disimpulkan bahwa islam adalah mabda’ ( ideology), karena islam merupakan akidah rasional yang bisa memancarkan sebuah system yaitu hokum-hukum syara’, karena hokum-hukum tersebut bisa menyelesaikan problem kehidupan. Komunisme juga merupakan ideology, karena merupakan akidah rasional yang bisa memancarkan system, yaituberbagai pemikiran yang bisa digunakan untuk menyelesaikan problem kehidupan. Kapitalisme juga merupakan ideology, karena kapitalisme merupakan akidah rasional, yang bisa menjadi pondasi berbagai pemikiran yang mampu menyelesaikan problem kehidupan.
          Dari sini juga sudah manpak dengan jelas, bahwa nasionalisme bukanlah ideology, patriotism juga bukan ideology, mazisme juga bukan ideology, eksistensialisme juga bukan ideology. Sebab masing-masing bukanlah akidah rasional yang bisa memancarkan system apapun, juga tidak bisa menjadi pondasi dari pemikiran apapun yang bisa menyelesaikan problem kehidupan.
          Tentang agama, jika agama tersebut akidahnya adalah akidah rasional, yang diperoleh melalui penalaran, serta memancarkan system yang bisa menyelesaikan problem kehidupan atau menjadi pondasi pemikiran, maka akidah tersebut merupakan ideology, yang relevan dengan definisi ideology. Namun, jika akidahnya bukan akidah rasional, misalnya, akidahnya merupakan akidah perasaan yang diterima secara doktriner, yang menuntuk diterima tanpa proses pembahasan nalar, juga tidak bisa memancarkan system apapun, dan tidak pula mampu menjadi pondasi bagi pemikiran lain, maka semua agama yang seperti ini bukanlah mabda’ (ideology). Karena akidahnya bukanlah akidah rasional, juga tidak bisa memancarkan system kehidupan.

Read more »

STANDART PERBUATAN

Banyak orang yang menjalani kehidupannya tanpa petunjuk (hidayah). Mereka pun melakukan berbagai aktifitas tanpa menggunakan standart  yang bisa mereka gunakan untuk mengukur perbuatannya. Karena itu, anda sering menjumpai mereka melakukan sejumlah perbuatan tercela, yang mereka sangka terpuji, sebaliknya mereka meninggalkan perbuatan terpuji, karena mereka sangka sebagai perbuatan tercela. Sebagai contoh, seorang wanita muslimah yang berkeliaran di jalan-jalan kota metropolitan negeri-negeri islam, seperti Beirut, damaskus, kairo, atau bagdad dengan membuka lengannya, sambil menampakkkan keindahan dan kecantikan tubuhnya. Dia mengira melakukan tindakan terpuji.
                Demikian pula seorang yang wara’ dan rajin kemasjid, tetapi dia menolak terlibat dalam membicarakan tingkah laku penguasa yang korup, karena ini merupakan urusan politik. Dia mengira, bahwa terlibat dalam urusan politik adalah perbuatan tercela. Sesungguhnya seorang wanita tadi dan laki-laki ini, sama-sama telah terjerumus dalam perbuatan dosa. Mengapa? Karena wanita tersebut telah memepertontonkan auratnya, sedangkan pria ini tidak mau memperhatikan urusan kaum muslim. Kondisi ini bisa terjadi, karena keduanya sama-sama tidk memiliki standart, yang merka gunakan untuk mengukur perbuatan mereka. Padahal, jika memilikinya, pasti tiak akan kita jumpai perbuatan yang bertentangan dengan mabda (ideology islam) yang secara nyata telah mereka ikrarkan. Karena itu, adanya standart yang berfungsi untuk menilai setiap perbuatan adalah keharusan bagi setiap orang, sehingga dia akan mengetahui hakikat suatu perbuatan sebelum mengerjakannya.
                Islam telah menetapkan standar bagi manusia untuk menilai segala sesuatu, sehingga dapat diketahui mana perbuatan yang terpuji yang harus segera dilakukan, dn mana perbuatan tercela yang harus segera di tinggalkan. Standart ini tidak lain adalah syariat. Jika syara’ menilai suatu perbuatan ini terpuji, maka itu terpuji, jika syara’ menilai suatu perbuatan itu tercela, maka itu tercela.standart ini bersifat permanen, karenanya perbuatan yang terpuji seperti jujur, menepati janji, berbuat baik kepada orang tua tidak akan berubah menjadi tercela, dan sebaliknya, suatu perbuatan tercela tidak akan berubah menjadi terpuji. Bahkan apa yang dinyatakan terpuji oleh syara’, selamanya akan terpuji, begitu pula yang di cela oleh syara’, selamanya akan tercela.
                Dengan demikian, seseorang bisa melangkah di muka bumi berdasarkan petunjuk yang lurus. Setiap perbuatan yang dilakukannya juga akan senantiasa berdasarkan petunjuk (hidayah), sehingga dia mengetahui hakikat perbuatan. Berbeda jika syara’ menetapkan standart baik atau buruk untuk setiap perkara, kemudian akal dijadikan sebagai standart, maka akan terjadi kekacauan dan ketidakpastian. Sebab, suatu perkara bisa saja di anggap terpuji pada suatu keadaan, tapi pada keadaan lain di anggap tercela. Sebab, akal manusia kadangkala memuji suatu perbuatan di masa sekarang, tetapi esok harinya di cela, atau suatu perbuatan di pandang terpuji disuatu negeri, tetapi dipandang tercela di negeri lain. Akibatnya, hokum segala sesuatu menjadi tidak jelas dan berubah-ubah, layaknya tiupan angin, sehingga pujian dan celaan adalah sesuatu yang bersifat nisbi, tidak lagi nyata. Dalam kondisi seperti ini, seseorang bisa saja terjerumus dalam perbuatan tercela, tetapi menyangka sebagai perbuatan terpiji, atau dia akan menjauhi diri dari perbuatan yang terpuji, karena disanka sebagai perbuatan yang tercela. Karena itu, wajib bagi setiap orang untuk menjadikan hokum syara’ sebagai standart bagi semua perbuatannya, dengan menganggap segala sesuatu terpuji atau tercela hanya berdasarkan hokum syara’ semata.

Read more »

ngaji yuk...!!!