Jumat, 30 Maret 2012

STANDART PERBUATAN

Banyak orang yang menjalani kehidupannya tanpa petunjuk (hidayah). Mereka pun melakukan berbagai aktifitas tanpa menggunakan standart  yang bisa mereka gunakan untuk mengukur perbuatannya. Karena itu, anda sering menjumpai mereka melakukan sejumlah perbuatan tercela, yang mereka sangka terpuji, sebaliknya mereka meninggalkan perbuatan terpuji, karena mereka sangka sebagai perbuatan tercela. Sebagai contoh, seorang wanita muslimah yang berkeliaran di jalan-jalan kota metropolitan negeri-negeri islam, seperti Beirut, damaskus, kairo, atau bagdad dengan membuka lengannya, sambil menampakkkan keindahan dan kecantikan tubuhnya. Dia mengira melakukan tindakan terpuji.
                Demikian pula seorang yang wara’ dan rajin kemasjid, tetapi dia menolak terlibat dalam membicarakan tingkah laku penguasa yang korup, karena ini merupakan urusan politik. Dia mengira, bahwa terlibat dalam urusan politik adalah perbuatan tercela. Sesungguhnya seorang wanita tadi dan laki-laki ini, sama-sama telah terjerumus dalam perbuatan dosa. Mengapa? Karena wanita tersebut telah memepertontonkan auratnya, sedangkan pria ini tidak mau memperhatikan urusan kaum muslim. Kondisi ini bisa terjadi, karena keduanya sama-sama tidk memiliki standart, yang merka gunakan untuk mengukur perbuatan mereka. Padahal, jika memilikinya, pasti tiak akan kita jumpai perbuatan yang bertentangan dengan mabda (ideology islam) yang secara nyata telah mereka ikrarkan. Karena itu, adanya standart yang berfungsi untuk menilai setiap perbuatan adalah keharusan bagi setiap orang, sehingga dia akan mengetahui hakikat suatu perbuatan sebelum mengerjakannya.
                Islam telah menetapkan standar bagi manusia untuk menilai segala sesuatu, sehingga dapat diketahui mana perbuatan yang terpuji yang harus segera dilakukan, dn mana perbuatan tercela yang harus segera di tinggalkan. Standart ini tidak lain adalah syariat. Jika syara’ menilai suatu perbuatan ini terpuji, maka itu terpuji, jika syara’ menilai suatu perbuatan itu tercela, maka itu tercela.standart ini bersifat permanen, karenanya perbuatan yang terpuji seperti jujur, menepati janji, berbuat baik kepada orang tua tidak akan berubah menjadi tercela, dan sebaliknya, suatu perbuatan tercela tidak akan berubah menjadi terpuji. Bahkan apa yang dinyatakan terpuji oleh syara’, selamanya akan terpuji, begitu pula yang di cela oleh syara’, selamanya akan tercela.
                Dengan demikian, seseorang bisa melangkah di muka bumi berdasarkan petunjuk yang lurus. Setiap perbuatan yang dilakukannya juga akan senantiasa berdasarkan petunjuk (hidayah), sehingga dia mengetahui hakikat perbuatan. Berbeda jika syara’ menetapkan standart baik atau buruk untuk setiap perkara, kemudian akal dijadikan sebagai standart, maka akan terjadi kekacauan dan ketidakpastian. Sebab, suatu perkara bisa saja di anggap terpuji pada suatu keadaan, tapi pada keadaan lain di anggap tercela. Sebab, akal manusia kadangkala memuji suatu perbuatan di masa sekarang, tetapi esok harinya di cela, atau suatu perbuatan di pandang terpuji disuatu negeri, tetapi dipandang tercela di negeri lain. Akibatnya, hokum segala sesuatu menjadi tidak jelas dan berubah-ubah, layaknya tiupan angin, sehingga pujian dan celaan adalah sesuatu yang bersifat nisbi, tidak lagi nyata. Dalam kondisi seperti ini, seseorang bisa saja terjerumus dalam perbuatan tercela, tetapi menyangka sebagai perbuatan terpiji, atau dia akan menjauhi diri dari perbuatan yang terpuji, karena disanka sebagai perbuatan yang tercela. Karena itu, wajib bagi setiap orang untuk menjadikan hokum syara’ sebagai standart bagi semua perbuatannya, dengan menganggap segala sesuatu terpuji atau tercela hanya berdasarkan hokum syara’ semata.

0 komentar:

Posting Komentar

ngaji yuk...!!!